Aksi solidaritas kolektif bela Palestina dapat dilihat dari perspektif psikologis sebagai reaksi sosial yang dipicu oleh berbagai faktor emosional, kognitif, dan sosial yang saling berhubungan. Beberapa penjelasan psikologis mengenai fenomena ini adalah sebagai berikut:
1. Empati dan Identifikasi Sosial
Solidaritas yang muncul terhadap Palestina sering kali berakar pada empati yang kuat terhadap penderitaan yang dialami orang-orang Palestina. Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, terutama ketika mereka menghadapi penderitaan atau ketidakadilan. Bagi banyak orang, terutama yang memiliki latar belakang agama atau budaya yang sama, perasaan empati ini diperkuat oleh identifikasi sosial. Identifikasi sosial ini adalah konsep psikologis yang menjelaskan bagaimana seseorang merasa terhubung dengan kelompok tertentuβdalam hal ini, umat Islam atau bangsa-bangsa yang merasa senasib dalam melawan ketidakadilan. Identifikasi ini memperkuat perasaan solidaritas dan memotivasi individu untuk terlibat dalam aksi kolektif demi membantu kelompok yang dianggap serupa atau sepenanggungan.
2. Pengaruh Media dan Representasi Visual
Informasi dan visual tentang konflik di Palestina yang tersebar di media, termasuk media sosial, memiliki dampak besar pada psikologi massa. Gambar atau video tentang penderitaan warga Palestina dapat menimbulkan efek emosional yang mendalam, seperti simpati, kemarahan, atau ketidakadilan. Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut emotional contagion atau penularan emosi, di mana perasaan orang dapat “tertular” kepada orang lain melalui pengalaman visual atau cerita yang emosional. Paparan konten semacam ini berperan besar dalam mendorong solidaritas kolektif dan membuat orang merasa perlu melakukan sesuatu untuk mendukung Palestina, baik dalam bentuk aksi, donasi, atau menyuarakan dukungan mereka di media sosial.
3. Teori Ketidakadilan dan Mobilisasi Emosi
Psikologi menjelaskan bahwa aksi solidaritas sering muncul ketika individu merasa adanya ketidakadilan yang sistematis terhadap suatu kelompok. Ketidakadilan ini memicu perasaan marah dan frustrasi yang kemudian diolah menjadi motivasi untuk bertindak. Dalam teori ketidakadilan, ketika sekelompok orang merasa ada penindasan atau ketimpangan yang signifikan, mereka lebih mungkin untuk bergabung dalam aksi kolektif guna mengekspresikan perlawanan terhadap ketidakadilan tersebut. Dalam konteks Palestina, ketidakadilan yang dirasakan umat Muslim atau kelompok pro-Palestina mendorong aksi protes dan solidaritas sebagai bentuk ekspresi kolektif terhadap keadaan tersebut.
4. Pengaruh Kelompok dan Dinamika Kolektif
Aksi solidaritas yang luas juga didorong oleh pengaruh kelompok. Ketika seseorang melihat orang-orang di sekitarnya, baik secara langsung atau melalui media sosial, menunjukkan dukungan terhadap Palestina, maka ia lebih mungkin untuk ikut serta dalam aksi tersebut karena adanya norma kelompok atau tekanan sosial yang tersirat. Dalam psikologi, ini disebut social conformity atau konformitas sosial, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengikuti tindakan atau pendapat mayoritas demi merasa menjadi bagian dari kelompok. Hal ini sangat kuat dalam konteks aksi solidaritas, terutama ketika kelompok tersebut memiliki nilai dan pandangan yang sejalan.
5. Pencarian Makna dan Tujuan dalam Hidup
Bagi sebagian individu, aksi bela Palestina juga dapat menjadi bagian dari pencarian makna dan tujuan dalam hidup. Aksi solidaritas sering kali memberikan rasa bangga dan tujuan yang jelasβmerasa terlibat dalam perjuangan untuk keadilan global. Menurut teori meaning-making, orang cenderung mencari aktivitas yang dapat memberi makna lebih dalam pada hidup mereka. Dalam aksi solidaritas, mereka menemukan makna ini, yaitu membela nilai kemanusiaan, keadilan, dan membantu sesama. Ini memberikan perasaan positif yang dapat memperkuat keterlibatan dalam kegiatan kolektif.
6. Penguatan Identitas Kolektif dan Nilai Agama
Banyak yang merasa aksi solidaritas untuk Palestina adalah bentuk manifestasi dari nilai-nilai agama mereka, terutama yang mengajarkan pentingnya membela sesama Muslim atau manusia yang tertindas. Nilai agama ini memperkuat identitas kolektif sebagai umat Islam yang memiliki tanggung jawab moral terhadap sesama. Dalam psikologi, konsep ini dikenal sebagai collective identity, di mana seseorang merasa menjadi bagian dari komunitas yang memiliki misi dan nilai-nilai bersama. Aksi bela Palestina menjadi media untuk mengaktualisasikan identitas kolektif ini, memperkuat ikatan dengan sesama anggota kelompok, dan meningkatkan semangat persatuan dalam membela keadilan.
Secara keseluruhan, aksi solidaritas bela Palestina adalah fenomena yang kompleks dan didorong oleh berbagai faktor psikologis yang saling berkaitan. Dari empati dan identifikasi sosial hingga pencarian makna dan penguatan identitas kolektif, semua faktor ini berperan dalam mendorong orang untuk bersatu dalam membela apa yang mereka anggap sebagai perjuangan untuk keadilan dan kemanusiaan.