Konflik Israel-Palestina merupakan salah satu konflik terpanjang dan paling kompleks di dunia. Akar-akar konflik ini dapat ditelusuri dari berbagai faktor historis, politik, sosial, dan agama yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Berikut adalah beberapa akar utama konflik ini:
1. Warisan Sejarah Kolonial
Konflik ini berakar pada sejarah panjang wilayah yang sekarang menjadi Israel dan Palestina. Pada abad ke-20, wilayah ini merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman yang berakhir setelah Perang Dunia I. Setelah Perang Dunia I, wilayah ini berada di bawah mandat Inggris, yang mengelola Palestina sejak 1917. Selama periode mandat ini, ketegangan antara komunitas Arab (Palestina) dan Yahudi meningkat, terutama setelah Deklarasi Balfour (1917), yang mendukung pembentukan “rumah nasional” bagi orang Yahudi di Palestina. Ini menyebabkan ketegangan antara kedua kelompok, karena orang Arab Palestina menentang imigrasi Yahudi ke wilayah mereka.
2. Pembentukan Negara Israel (1948)
Konflik mencapai titik puncaknya pada tahun 1948, ketika Israel mendeklarasikan kemerdekaannya setelah berakhirnya mandat Inggris. Pembentukan Israel disertai dengan perang dengan negara-negara Arab tetangga. Perang ini dikenal dengan Perang Arab-Israel 1948. Setelah perang, lebih dari 700.000 orang Palestina melarikan diri atau diusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba (bencana). Ketegangan dan perselisihan ini tetap ada, karena sebagian besar orang Palestina menjadi pengungsi dan tidak dapat kembali ke tanah mereka yang kini menjadi bagian dari negara Israel.
3. Status Yerusalem
Yerusalem adalah salah satu isu paling sensitif dalam konflik ini. Kota ini memiliki nilai agama yang sangat tinggi bagi tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Bagi orang Yahudi, Yerusalem adalah kota suci dan pusat sejarah mereka, sementara bagi umat Muslim, Yerusalem, terutama Masjid Al-Aqsa, adalah tempat ketiga tersuci dalam Islam. Orang Palestina menginginkan Yerusalem Timur, yang diduduki Israel pada tahun 1967, sebagai ibu kota negara Palestina mereka. Sementara Israel menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kota mereka yang tak terpisahkan. Status Yerusalem menjadi salah satu isu utama yang memperburuk ketegangan.
4. Perang dan Pendudukan
Pada tahun 1967, dalam Perang Enam Hari, Israel mengalahkan negara-negara Arab tetangga dan mengambil alih sejumlah wilayah, termasuk Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Pendudukan ini menciptakan ketegangan yang berkelanjutan, karena masyarakat Palestina di wilayah yang diduduki hidup di bawah kontrol militer Israel. Israel membangun pemukiman di wilayah-wilayah ini, yang dianggap ilegal oleh banyak pihak internasional. Keberadaan pemukiman-pemukiman ini semakin memperburuk ketegangan dan menambah kesulitan bagi orang Palestina yang tinggal di wilayah tersebut.
5. Identitas Nasional dan Perjuangan Kemerdekaan
Bagi orang Palestina, konflik ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal identitas nasional dan perjuangan untuk kemerdekaan. Sejak pembentukan Israel, orang Palestina merasa hak-hak mereka dilanggar, dan mereka berjuang untuk memiliki negara sendiri yang merdeka. Gerakan perjuangan seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dipimpin oleh Yasser Arafat, dan kelompok militan lainnya seperti Hamas, berjuang untuk memerdekakan wilayah Palestina.
6. Masalah Pengungsi Palestina
Masalah pengungsi Palestina adalah isu yang tidak dapat dipisahkan dari konflik ini. Setelah Perang 1948, banyak orang Palestina kehilangan rumah mereka dan menjadi pengungsi. Hingga saat ini, lebih dari 5 juta pengungsi Palestina terdaftar di badan pengungsi PBB (UNRWA), sebagian besar tinggal di negara-negara Arab sekitar seperti Yordania, Lebanon, dan Suriah. Mereka masih menginginkan hak untuk kembali ke rumah mereka, yang merupakan salah satu isu utama dalam negosiasi damai.
7. Keterlibatan Kekuatan Internasional
Konflik ini juga dipengaruhi oleh kepentingan dan intervensi kekuatan internasional. Amerika Serikat telah lama menjadi sekutu kuat Israel, memberikan dukungan politik, militer, dan ekonomi. Sementara itu, negara-negara Arab dan dunia Muslim secara umum mendukung Palestina. Banyak negara juga terlibat dalam upaya diplomatik untuk mencapai perdamaian, seperti perjanjian Oslo pada 1993, yang memberi harapan akan tercapainya solusi dua negara. Namun, proses perdamaian sering terhambat oleh ketidakpercayaan, kekerasan, dan perbedaan pandangan mengenai isu-isu pokok seperti status Yerusalem dan pengungsi Palestina.
8. Radikalisasi dan Kekerasan
Kekerasan dan radikalisasi juga memperburuk konflik ini. Kelompok-kelompok militan seperti Hamas di Gaza, yang menentang pengakuan Israel dan mendukung penggunaan kekerasan, sering terlibat dalam serangan terhadap Israel. Israel juga melakukan serangan udara dan operasi militer untuk membalas serangan tersebut. Siklus kekerasan ini memperburuk situasi dan menciptakan rasa kebencian serta ketidakpercayaan yang mendalam antara kedua pihak.
9. Sosial dan Ekonomi
Di wilayah yang diduduki Israel, orang Palestina menghadapi pembatasan ketat dalam hal kebebasan bergerak, akses terhadap sumber daya, dan pembangunan ekonomi. Hal ini memperburuk kemiskinan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat Palestina, yang semakin merasa terpinggirkan. Di sisi lain, Israel juga menghadapi ancaman terhadap keamanan dari serangan-serangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok militan.
10. Solusi Dua Negara
Banyak upaya internasional, termasuk dari PBB dan negara-negara besar, berfokus pada solusi dua negara, yaitu pembentukan negara Israel dan Palestina yang berdampingan secara damai. Namun, ketegangan di lapangan, pemukiman Israel di Tepi Barat, dan ketidakpercayaan antara kedua belah pihak membuat solusi ini sangat sulit dicapai.
Kesimpulan
Konflik Israel-Palestina adalah hasil dari berbagai faktor sejarah, politik, agama, dan sosial yang saling terkait. Meskipun telah ada beberapa upaya untuk mencapai perdamaian, kesulitan dalam menyelesaikan isu-isu mendalam seperti status Yerusalem, pemukiman, pengungsi, dan keamanan membuat konflik ini terus berlanjut. Sebuah solusi yang adil dan langgeng masih sulit tercapai, dan masih banyak tantangan yang harus dihadapi kedua belah pihak dan komunitas internasional.